Minggu, 22 April 2012

PENYELUNDUPAN HUKUM DALAM PEMENUHAN HAK KEWARGANEGARAAN ( Kasus Kwarganegaraan Anak Maudy Koesnaedi )

Oleh : Michael Arnold Pramudito 

Penyelundupan hukum adalah suatuperbuatan yang bertujuan untuk menghindarkan (menghindari) berlakunya hukum nasional sehingga yang bersangkutan memperoleh suatu keuntungan – keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya,sebab baginya berlaku hukum asing. Akan tetapi di pihak yang lain,khususnya apabila dilihat dari kacamata hakim yangmenangani atau menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan lembaga atau perbuatan hukumini,penyelundupan hukum justru mengakibatkan berlakunya hokum nasional dan menyatakantidak berlakunya hukum asing yang diselundupkan itu. Kasus Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Saat ini Eddy masih anak-anak karena usianya masih 3 tahun, dapat kita analisa dalam hukum perdata, bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda PEMBAHASAN Menurut Teori Hukum Perdata Internasional Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur. Dalam kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah . Pengaturan di Indonesia Menurut UU No.62 tahun 1958 Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : “Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.” Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing . Dalam kasus Eddy yang telahir dari hasil perkawinan campuran ibunya Warga Negara Indonesia dan Ayahnya Warga Negara Belanda, anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian antara orang tua Eddy, akan sulit bagi Maudy sebagai ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Di dalam Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. a. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. b. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. c. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang Berdasarkan UU ini Eddy yang merupakan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA diakui sebagai warga negara Indonesia. Eddy akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah dia berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Namun pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi, dalam kasus ini antara Indonesia dan Belanda. ANALISIS. Pengaturan baru. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberi peraturan baru yang positif karena secara garis besar Undang-undang baru ini memperbolehkan dwi kewarganegaraan yang terbatas dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari perkawinan campuran. Permasalahannya adalah menyangkut dwi kwarganegaraan pada anak, jika nantinya anak menganut terus dwi kewarganegaraanya maka harus ada penyelundupan hukum jika anak tersangkut suatu kasus pada suatu negara. Dan apakah ketika anak mendapatkan permasalahan hukum nantinya ada perlindungan dari negara dimana ia tinggal, karena menyangkut mengenai dwi kewarganegaraan.

2 komentar:

  1. ribet sekali penjelasan anda tentang kewarganegaraan ini, dan tulisan sekecil ini sulit untuk cepat di pahami oleh pembaca.

    BalasHapus